Struggle For The Teacher Fredom

Pendidikan Inklusi Dilema dan Harapan

27/12/2010 21:28

Oleh : Asmarahadi

Sebagian kepala seekor kupu-kupu menyembul di luar kepompongnya. Meskipun hanya sebagian kecil, indahnya tampak jelas terlihat. Penggambaran ini mungkin hanya sebuah metafor bagi pendidikan inklusif di Indonesia saat ini.
Pendidikan inklusi adalah termasuk hal yang baru di Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi, diantaranya adalah pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok yang homogen. Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan siswa. Mereka juga diharapkan dapat mencari anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan.
Ketika pendidikan inklusif diperkenalkan, hal itu dipandang seperti ulat yang memakan daun, buah dan pohon pendidikan khusus. Ide inklusi menghadapi skeptisme dan penolakan, beberapa orang berpendapat:
  • Inklusi hanyalah istilah lain untuk pendidikan terpadu, sebuah konsep yang telah lama diimplementasikan di Indonesia;
  • Inklusi akan menghilangkan pekerjaan guru-guru pendidikan khusus;
  • Kebijakan pendidikan tidak memungkinkan pemberlakuan inklusif;
  • Peralihan/pengubahan dari sekolah khusus atau terpisah terlalu sulit;
  • Inklusi hanya dapat dilaksanakan di negara-negara yang jumlah siswa per kelasnya sedikit sehingga memungkinkan pembelajaran individual, tetapi tidak untuk Indonesia yang memiliki kelas-kelas besar;
  • Inklusi hanya dapat dilaksanakan di negara-negara yang memiliki guru profesional dalam jumlah memadai, sedangkan Indonesia masih berjuang meningkatkan kualitas guru, dan juga;
  • Inklusi bergantung pada gaji guru yang tinggi.
Pertimbangan filosofis yang menjadi basis pendidikan inklusi paling tidak ada tiga. Pertama, cara memandang hambatan tidak lagi dari perspektif peserta didik, namun dari perspektif lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah harus memainkan peran sentral dalam transformasi hambatan-hambatan peserta didik. Kedua, perspektif holistik dalam memandang peserta didik. Dengan perspektif tersebut, peserta didik dipandang mampu dan kreatif secara potensial. Sekolah bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan di mana potensi-potensi tersebut berkembang. Ketiga, prinsip non-segregasi. Dengan prinsip ini, sekolah memberikan pemenuhan kebutuhan kepada semua peserta didik. Organisasi dan alokasi sumber harus cukup fleksibel dalam memberikan dukungan yang dibutuhkan kelas. Masalah yang dihadapi peserta didik harus didiskusikan terus menerus di antara staf sekolah, agar dipecahkan sedini mungkin untuk mencegah munculnya masalah-masalah lain (UNESCO, 2003).
Ada tiga langkah penting menuju inklusi yang nyata: komunitas, persamaan dan partisipasi. Semua staf yang terlibat dalam pendidikan merupakan suatu komunitas yang memiliki visi dan pemahaman yang sama tentang pendidikan inklusi, baik konsep dan pentingnya maupun dasar-dasar filosofis. Setiap anggota komunitas memiliki persamaan (hak yang sama), dan—karena itu—sama-sama berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan inklusi, sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasinya. Dalam pendidikan inklusi, sistem sekolah tidak berhak menentukan tipe peserta didik, namun sebaliknya sistem sekolah yang harus menyesuaikan untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik. Terkait dengan ini, ada ungkapan bahwa komunitas (semua staf yang terlibat dalam pendidikan inklusi) ‘melampaui dan di atas’ (over and above) kurikulum (UNESCO,
Pendidikan Inklusi sebenarnya merupakan model Penyelenggaraan Program Pendidikan bagi anak berkelainan atau cacat dimana penyelenggaraannya dipadukan bersama anak normal dan tempatnya di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga bersangkautan. Latar belakang mucnulnya pendidikan inklusi ini karena terbatasnya Sekolah luar Biasa (SLB) atau Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) yang masih sangat terbatas jumlahnya dan sebatas tempat tertentu yaitu baru di tingkat Kecamatan, itupun milik swasta, sementara yang SLB Negeri berada di tingkat Kabupaten.
Sebagaimana diketahui, berbagai catatan berkenaan dengan siswa berkebutuhan khusus justru memperlihatkan profil memprihatinkan anak-anak bangsa. Dari periode ke periode mereka mengalami peningkatan jumlah populasi. Sebagian terbesarnya, lahir dalam keluarga kelas menengah-bawah, serta tinggal di kawasan pedesaan atau di pinggiran wilayah-wilayah urban. Keterbatasan mereka mendapatkan pendidikan bertali temali dengam banyak aspek. Bukan saja tak memiliki ketercukupan biaya demi mengenyam pendidikan secara memadai. Tak kalah tragisnya, mereka terbentur kesulitan transportasi untuk bisa mencapai ibukota kabupaten. Logis jika kemudian sekolah-sekolah umum turut serta memikul tanggung jawab: menerima kehadiran siswa berkebutuhan khusus dalam totalitas proses pendidikan.
Sesungguhnya, bukanlah hal aneh manakala siswa berkebutuhan khusus terintegrasi ke dalam institusi pendidikan umum. Sebab dengan demikian terbentuk perspektif baru hubungan antarmanusia berlandaskan solidaritas sosial. Anak-anak normal justru memiliki kesempatan untuk belajar membangun empati terhadap siswa berkebutuhan khusus. Bahkan, sekolah berkembang sedemikian rupa menjadi epsisentrum terciptanya caring society. Itulah suatu model masyarakat yang setiap anggotanya saling peduli satu sama lain. Sekolah betul-betul menjadi kawah candradimuka lahirnya humanisme baru.
Sisi lain dari pendidikan inklusi ialah mengubah makna keberadaan pendidikan umum. Dalam perspektif para penyandang cacat, sekolah-sekolah umum telah sejak lama dirasakan sebagai seonggok kejumawaan, lantara hanya memberi tempat bagi siswa normal. Dengan demikian berarti, sekolah-sekolah umum berubah menjadi eksklusif manakala disimak berlandaskan perspektif penyandang cacat. Mungkin karena alasan ini para pejabat tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional lalu tampil dengan nada positif saat berbicara tentang pendidikan inklusi. Mereka bahkan memaknai kehadiran pendidikan inklusi itu sejalan dengan tujuan sistem pendidikan nasional.
Apa yang kemudian penting digaris-bawahi dengan demikian ialah kian terkikisnya pandangan negatif terhadap integrasi siswa berkebutuhan khusus ke dalam sistem pendidikan umum. Sebagai konsekuensinya, dibutuhkan rancangan pendidikan inklusi. Pada satu sisi, kesiapan infrastruktur dan ketersediaan guru mutlak mempertimbangkan keberadaan siswa berkebutuhan khusus. Pada lain sisi, sudah saatnya proses pendidikan mempertimbangan inner scientific. Sehingga, totalitas sistem pendidikan yang berjalan fokus pada potensi individual siswa. Inilah pendidikan inklusi dalam maknanya yang hakiki
Back

Search site

© 2009 All rights reserved.