Struggle For The Teacher Fredom

PENDIDIKAN AGAMA DAN RELEVANSI SOSIAL

13/09/2009 14:14

Agama bagaikan rel yang menuntun manusia dalam menuju ke-EsaanNya, yang tentu saja tidak dapat dilepaskan dari dimensi manusia sebagai mahluk sosial. Dalam berbagai realitas sosial agama kerap menjadi kambing hitam dari sebuah konflik yang umumnya bukan semata-mata berasal dari perbedaan keyakinan tersebut. Sebut saja konflik yang terjadi dinegeri sendiri seperti Ambon dan Poso atau bahkan yang terjadi di Somalia ataupun Isarel-Palestina. Dan, maraknya kembali aksi-aksi terorisme yang berjubahkan agama membuat kita semakin bertanya tentang peran pendidikan agama di dunia sekolah khususnya sekolah umum. Seakan pendidikan agama tidak mampu menjawab perkembangan dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara cepat. Pendidikan agama disekolah-sekolah umum (non-agama) selama ini hanya dilihat dalam tataran tekstual dan kalau pun secara praktis tidak lebih dari pesantren kilat yang sebenarnya hanya mengisi waktu kosong sekolah dibulan ramadhan dan sebagai ajang bisnis para guru-guru agama. Maka, tidaklah mengherankan agama justru sering kali dijadikan landasan untuk menciptakan konflik. Mengapa dan ada apa dengan dunia pendidikan agama di negeri ini?
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara cepat dan meluas menghadapkan manusia kembali dengan dirinya sebagai mahluk susila dan mempertanyakan kembali makna dan arti hidupnya. Penghadapan ini berkisar disekitar nilai-nilai konfigurasi nilai-nilai yang dipegangnya, haikatnya bersumber pada agama. Maka, mau tak mau seseorang yang beragama terpaksa merenungkan arti pembangunan dan perubahan-perubahan sosial yang dialaminya serta kelakukan sendiri dalam keadaan baru dari perspektif imannya. Karena iman, manusia mampu untuk membangun dan menjaga huku keseimbangan antara kehidupan duniawi dan akhirat, sehingga tidak terhanyut dalam pengejaraa dunia materialisme yang berlebihan. Iman membuahkan amal menurut kaidah-kaidah syariat agama dan usaha pembangunan sosial pada hakikatnya merupakan perluasan amal untuk menghadapai kemiskinan dan keterbelakangan, bukan hanya pada tingkat individual, melainkan sebagai masalah struktural masyarakat.
Dan, pendidikan agama yang semata-mata hanya menekankan hafalan kaidah-kaidah keagamaan dalam bentuk abstrak-steril selain menjadi pelajaran yang sangat menjenuhkan juga akan kurang mempunyai relevansi terhadap usaha pembangunan dan untuk membina anak didik menghadapi masa peralihan secara positif, sebagai manusia susila. Pendidikan agama pada dasarnya berusaha membekali anak didiknya dengan seperangkat nilai, norma, yang diharapkan merupakan pegangan hidup di kemudian hari. Pendidikan agama tidak hanya cukup mengenali ahlak tapi mencoba menghayati ahlak dalam menghadapi keadaan yang nyata. Dalam menghadapi keadaan yang nyata, tentunya diperlukan juga akal dan ilmu, pengertian rasional tentang proses-proses perubahan sosial, serta impilkasi-impilikasi sosial oleh ilmu pengertahuan modern. Sayangnya, pendidikan agama yang terjadi di negeri ini masih terus berkutat dalam lingkaran pemahaman agama secara tekstual. Dan, bahaya dari pemahaman agama secara tekstual sangatlah nyata. Hal ini terus terjadi dan menjadi bagian dari sejarah serta masa depan manusia. Berbagai kasus kekerasan dengan dalih agama terus ada sepanjang zaman.
pemahaman agama secara tekstual dan Kontekstual merupakan dua cara memahami perintah Tuhan yang mempunyai efek yang luar biasa berbeda. Mengajarkan umat untuk bisa memahami sebuah ayat secara kontekstual dengan tanpa keluar dari koridor-koridor nilai yang terkandung didalamnya memang tidak mudah dan memakan waktu yang lama. Memang sangat lebih mudah untuk mengajarkan umat supaya hafal teksnya saja. Pemahaman hakiki dari sebuah ayat adalah hasil dari perenungan pribadi dengan bantuan penerangan batin dari SumberNya. Peran pemuka agama hanya sebatas mengarahkan dan memberikan panduan supaya pemahaman tersebut tidak lepas dari hakikatnya. Tetapi banyak dari pemuka agama yang mengambil peran sebaliknya. Mereka mendominasi dan memaksakan arti dari sebuah ayat kepada umatnya. Umat hanya boleh patuh secara total, tanpa boleh berpikir secara kritis sedikitpun.
Tugas pendidikan agama tidak terbatas pada individu manusia tetapi juga pada usaha pembangunan sebuah bangsa dan keseluruhannya. Dan, tugas semua pendidikan adalah membina manusia susila, manusia yang berahlak atau dengan kata lain memanusiakan manusia. Pendidikan agama di dalam suatu masa perubahan sosial mempunyai tugas khusus, dalam arti membina anak didik untuk berkelakuan benar dalam situasi yang tidak menentu patokan-patokan moralnya. Karena perubahan atau kehancuran struktur-struktur sosial lamadan tumbuhnya keadaan – keadaan baru, maka lebih dulu diperlukan manusia-manusia yang mempunyai keberanian hidup yang bersedia mampu hidup diatas kaki sendiri dan mencari nafkah sendiri tidak menggantungkan nasibnya pada pemerintah atau birokrasi-birokrasi besar.
Pembanguan suatu bangsa membutuh pengetahuan tentang kenyataan – kenyataan sosial yang ada dan kemampuan untuk menilai kenyatan-kenyataan sosial berdasarkan kriteria yang ditarik dari suatu sistem nilai. Pendidikan agama dalam membentuk manusia susila tidak dapat dan tidak boleh berjalan sendiri, kalau pendidikan agama ingin mempunyai relevansi terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, ia harus berjalan dan bekerja sama dengan berbagai program mata pelajaran pendidikan non agama. Karena apabila tidak ada sinkronisasi antara mata pelajaran pendidikan agama dan pendidikan non agama, maka pendidikan agama hanya akan menjadi “hiasan kurikulum” belaka, yang berarti pendidikan agama yang hadir di dalam dunia sekolah selama ini tidak untuk membantu terciptanya suatu generasi baru yang lebih mampu dalam mengelola perubahan-perubahan sosial di masyarakat kita dan pembanguan bangsa pun tidak akan pernah berubah, bangsa ini hanya tinggal menunggu detik-detik kehancurannya.
The Romantism RevoltPENDIDIKAN AGAMA DAN RELEVANSI SOSIAL

Agama bagaikan rel yang menuntun manusia dalam menuju ke-EsaanNya, yang tentu saja tidak dapat dilepaskan dari dimensi manusia sebagai mahluk sosial. Dalam berbagai realitas sosial agama kerap menjadi kambing hitam dari sebuah konflik yang umumnya bukan semata-mata berasal dari perbedaan keyakinan tersebut. Sebut saja konflik yang terjadi dinegeri sendiri seperti Ambon dan Poso atau bahkan yang terjadi di Somalia ataupun Isarel-Palestina. Dan, maraknya kembali aksi-aksi terorisme yang berjubahkan agama membuat kita semakin bertanya tentang peran pendidikan agama di dunia sekolah khususnya sekolah umum. Seakan pendidikan agama tidak mampu menjawab perkembangan dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara cepat. Pendidikan agama disekolah-sekolah umum (non-agama) selama ini hanya dilihat dalam tataran tekstual dan kalau pun secara praktis tidak lebih dari pesantren kilat yang sebenarnya hanya mengisi waktu kosong sekolah dibulan ramadhan dan sebagai ajang bisnis para guru-guru agama. Maka, tidaklah mengherankan agama justru sering kali dijadikan landasan untuk menciptakan konflik. Mengapa dan ada apa dengan dunia pendidikan agama di negeri ini?
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara cepat dan meluas menghadapkan manusia kembali dengan dirinya sebagai mahluk susila dan mempertanyakan kembali makna dan arti hidupnya. Penghadapan ini berkisar disekitar nilai-nilai konfigurasi nilai-nilai yang dipegangnya, haikatnya bersumber pada agama. Maka, mau tak mau seseorang yang beragama terpaksa merenungkan arti pembangunan dan perubahan-perubahan sosial yang dialaminya serta kelakukan sendiri dalam keadaan baru dari perspektif imannya. Karena iman, manusia mampu untuk membangun dan menjaga huku keseimbangan antara kehidupan duniawi dan akhirat, sehingga tidak terhanyut dalam pengejaraa dunia materialisme yang berlebihan. Iman membuahkan amal menurut kaidah-kaidah syariat agama dan usaha pembangunan sosial pada hakikatnya merupakan perluasan amal untuk menghadapai kemiskinan dan keterbelakangan, bukan hanya pada tingkat individual, melainkan sebagai masalah struktural masyarakat.
Dan, pendidikan agama yang semata-mata hanya menekankan hafalan kaidah-kaidah keagamaan dalam bentuk abstrak-steril selain menjadi pelajaran yang sangat menjenuhkan juga akan kurang mempunyai relevansi terhadap usaha pembangunan dan untuk membina anak didik menghadapi masa peralihan secara positif, sebagai manusia susila. Pendidikan agama pada dasarnya berusaha membekali anak didiknya dengan seperangkat nilai, norma, yang diharapkan merupakan pegangan hidup di kemudian hari. Pendidikan agama tidak hanya cukup mengenali ahlak tapi mencoba menghayati ahlak dalam menghadapi keadaan yang nyata. Dalam menghadapi keadaan yang nyata, tentunya diperlukan juga akal dan ilmu, pengertian rasional tentang proses-proses perubahan sosial, serta impilkasi-impilikasi sosial oleh ilmu pengertahuan modern. Sayangnya, pendidikan agama yang terjadi di negeri ini masih terus berkutat dalam lingkaran pemahaman agama secara tekstual. Dan, bahaya dari pemahaman agama secara tekstual sangatlah nyata. Hal ini terus terjadi dan menjadi bagian dari sejarah serta masa depan manusia. Berbagai kasus kekerasan dengan dalih agama terus ada sepanjang zaman.
pemahaman agama secara tekstual dan Kontekstual merupakan dua cara memahami perintah Tuhan yang mempunyai efek yang luar biasa berbeda. Mengajarkan umat untuk bisa memahami sebuah ayat secara kontekstual dengan tanpa keluar dari koridor-koridor nilai yang terkandung didalamnya memang tidak mudah dan memakan waktu yang lama. Memang sangat lebih mudah untuk mengajarkan umat supaya hafal teksnya saja. Pemahaman hakiki dari sebuah ayat adalah hasil dari perenungan pribadi dengan bantuan penerangan batin dari SumberNya. Peran pemuka agama hanya sebatas mengarahkan dan memberikan panduan supaya pemahaman tersebut tidak lepas dari hakikatnya. Tetapi banyak dari pemuka agama yang mengambil peran sebaliknya. Mereka mendominasi dan memaksakan arti dari sebuah ayat kepada umatnya. Umat hanya boleh patuh secara total, tanpa boleh berpikir secara kritis sedikitpun.
Tugas pendidikan agama tidak terbatas pada individu manusia tetapi juga pada usaha pembangunan sebuah bangsa dan keseluruhannya. Dan, tugas semua pendidikan adalah membina manusia susila, manusia yang berahlak atau dengan kata lain memanusiakan manusia. Pendidikan agama di dalam suatu masa perubahan sosial mempunyai tugas khusus, dalam arti membina anak didik untuk berkelakuan benar dalam situasi yang tidak menentu patokan-patokan moralnya. Karena perubahan atau kehancuran struktur-struktur sosial lamadan tumbuhnya keadaan – keadaan baru, maka lebih dulu diperlukan manusia-manusia yang mempunyai keberanian hidup yang bersedia mampu hidup diatas kaki sendiri dan mencari nafkah sendiri tidak menggantungkan nasibnya pada pemerintah atau birokrasi-birokrasi besar.
Pembanguan suatu bangsa membutuh pengetahuan tentang kenyataan – kenyataan sosial yang ada dan kemampuan untuk menilai kenyatan-kenyataan sosial berdasarkan kriteria yang ditarik dari suatu sistem nilai. Pendidikan agama dalam membentuk manusia susila tidak dapat dan tidak boleh berjalan sendiri, kalau pendidikan agama ingin mempunyai relevansi terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, ia harus berjalan dan bekerja sama dengan berbagai program mata pelajaran pendidikan non agama. Karena apabila tidak ada sinkronisasi antara mata pelajaran pendidikan agama dan pendidikan non agama, maka pendidikan agama hanya akan menjadi “hiasan kurikulum” belaka, yang berarti pendidikan agama yang hadir di dalam dunia sekolah selama ini tidak untuk membantu terciptanya suatu generasi baru yang lebih mampu dalam mengelola perubahan-perubahan sosial di masyarakat kita dan pembanguan bangsa pun tidak akan pernah berubah, bangsa ini hanya tinggal menunggu detik-detik kehancurannya.
The Romantism Revolt

Back

Search site

© 2009 All rights reserved.