Struggle For The Teacher Fredom

"Membaca" Sekolah Gratis

23/06/2009 12:02

Oleh : Asmarahadi

Departemen Pendidikan sangat aktif menayangkan iklan mengenai pendidikan gratis.Pada salah satu versi iklannya, digambarkan bagaimana seorang anak dengan meneteskan air mata akhirnya bergembira setelah pemerintah, negara mencanangkan pendidikan gratis. Di beberapa tayangan, seakan ada tandem tayang dalam iklan itu, yaitu penayangan yang berdampingan dengan iklan tentang pajak, tentang ajakan warga untuk membayar pajak.
Mungkin yang akan dikomunikasikan adalah pendidikan gratis ini adalah karena warga negara tertib membayar pajak atau dengan membayar pajak maka pendidikan gratis dapat dilaksanakan. Apapun alasan atau maksud dari ”ditandemkan” ke dua iklan itu, disengaja atau tidak, justru kedua iklan ini dapat sebagai salah satu pintu masuk dalam sedikit menguak apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika digambarkan bagaimana seharusnya warga negara melaksanakan kewajibannya maka wajah-wajah optimis, percaya diri dan senyum yang tampil di layar kaca. Kelemahan utama iklan ini adalah penggunaan anak-anak dengan dialog yang tidak cerdas. ”Bapakku punya ini, bapakku punya itu, bapakku bisa buat itu…”, kira-kira begitulah awal dialog. Mengapa dialog yang muncul yang harus dikatakan oleh anak-anak adalah punya harta ini, punya harta itu?
Tetapi inti dari apa yang bisa kita tangkap dari iklan pajak itu adalah, optimis, tetap semangat dan gembira saat masyarakat melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara.
Bagaimana Kementrian Pendidikan menggambarkan warga negara ketika negara melaksanakan konstitusi yaitu mencerdaskan rakyat Indonesia? Kalau pada awal iklan pajak adalah anak ’sombong-sombong-an’ soal harta orang tuanya, maka pada iklan yang dibuat Kementrian Pendidikan dimulai dengan anak yang menangis, meneteskan air mata, ibu yang sedih. Episode tetesan air mata ini berubah menjadi episode kegembiraan ketika ”kebaikan” negara menghampirinya. Negara baik, itulah yang ada dibelakang iklan pendidikan gratis versi tetesan air mata itu. Ini juga yang dipakai dalam logika iklan BLT, negara baik.
Pada versi iklan pendidikan gratis lain, iklan Kementrian Pendidikan yang diakhiri dengan tampilnya Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo, digambarkan bahwa pendidikan gratis memungkinkan anak bisa menjadi pilot, wartawan. Jika apa yang ada dibelakang otak menteri pendidikan adalah seperti itu, sekali lagi kita bandingkan dengan apa jawabannya anak-anak di negeri China ketika ditanya tentang cita-citanya mau jadi apa, mengalahkan Amerika!
Bukan pilot, bukan wartawan, bukan mengalahkan Amerika masalahnya, tetapi semangat dibalik itulah yang akhirnya keluaran yang tampak menjadi sangat beda dan mengapa akhirnya muncul iklan yang juga sangat tidak cerdas itu.
Berapa uang, biaya yang dihabiskan oleh Kementrian Pendidikan untuk pamer kecerdasan tanpa karater itu? Dan itu juga sebenarnya adalah uang rakyat, rakyat yang membayar pajak tidak hanya pajak penghasilan tetapi juga saat membeli barang dengan PPN-nya, pajak bumi dan bangunan, pajak sepeda motor dan mobil, saat beli materai dan seterusnya. Rakyat yang sudah membayar pajak itu disuguhi oleh iklan yang membodohi rakyat, iklan yang sangat tidak cerdas yang dilahirkan oleh lembaga ”gudangnya kecerdasan”.
Atau mungkin ini memang gayanya suatu rejim melodramatik? Mungkin.
Tetapi jika dilihat lebih jauh lagi, ini juga merupakan satu dari multi-wajah negara dibawah skenario neoliberalisme. Wajah lain negara adalah negara yang agresif melakukan privatisasi, yang fakta justru BUMN-BUMN yang menguntungkanlah yang diprivatiasi, di-lego lebih dulu. Negara yang agresif menggelar karpet merah bagi penanaman modal asing. Di Indonesia ditambah, negara surganya oligarki dan pemburu rente. Dan negara baik adalah salah satu solusi untuk menghindari benturan institusional ranah negara terkait kepentingan rakyat banyak dengan kepentingan privat.
Bukan karena amanat konstitusi, tetapi karena negara baik hati.

Back

Search site

© 2009 All rights reserved.