Struggle For The Teacher Fredom

Guru Sertifikasi yang Sertikipat

01/11/2011 10:30

Oleh : Asmarahadi

“Guru bukan hanya profesi, Guru adalah Pemegang amanah Sebuah Tugas Suci yang Diberikan oleh Yang Kuasa”

Tunjangan guru bukan utopia pemerintah sudah membuktikan lewat tunjangan sertifikasi guru, guru yang telah lulus sertifikasi telah ketiban dan menuai hasilnya dengan menerima Tunjangan Gaji sertifikasi karena telah dianggap sebagai Guru profesional. Besarnya tunjangan memang lumayan, cukup untuk tambahan koleksi tabungan atau menambah perabot yang diinginkan atau yang lainnya yang belum punya atau bahkan cukup untuk buat kredit mobil baru. apakah guru bersertifikasi sudah menunjukkan ”balas budi” dengan peningkatan kinerja sesuai tujuan utama pemberian tunjangan sertifikasi ini? Sertifikasi apakah hanya akan menjadi sebuah stempel profesionalitas guru?
Para guru bersertifikasi sampat saat ini masih “jalan ditempat “ yang berarti tidak ada perubahan radikal dibanding guru yang masih belum berstifikasi, yang terjadi justru guru bersertifikasi cenderung menurun kinerjanya dan hanya menghitung kalender kantor. Mekanisme tentang pengawasan kinerja guru sertifikasi (guru plus-plus) sangat tidak jelas, pemerintah hanya mampu menebarkan ancaman bahwa ada evaluasi yang akan mencabut tunjangan sertifikasi jika kinerjanya semakin menurun.
Alangkah lebih baiknya jika para guru bersertifikasi mau merenung dan sedikit sadar bahwa esensi profesionalitas adalah sebuah tindakan yang berasal dari dalam bukan sesuatu yang dipaksakan dari luar. Seorang profesional harus akuntabel bagi para pemangku kepentingan, tidak sekadar pernyataan kosong atau selembar ijazah dan sederet gelar.

Pilar Profesionalisme
Profesional tidak semata-mata menyesuaikan diri dengan apa yang diterima, dalam faktanya setiap profesional harus memberi lebih dari apa yang ia terima. Profesional adalah “giver” bukan “taker”. Dalam UU N0.14/2005 tentang guru dosen telah ditetapkan 4 pilar profesionalisme. Pilar pertama adalah kemampuan profesional. Saat ini guru bukan lah satu-satunya sumber segala pengetahuan (single source knowledge). Hal ini tidak bisa menjadi alasan bagi guru untuk tidak menguasai materi pelajaran.
Bank Dunia pada laporannya mencatat bahwa kemampuan penguasaan materi guru sangat memperihatinkan, guru yang menjalin tes mata pelajaran yang diajarkan justru mendapatkan nilai rata-rata 50, artinya yang mendapatkan nilai dibawah 50 jumlahnya lebih banyak.
Para guru RSBI/SBI yang seharusnya menjadi teladan juga mengalami nasib yang sama, RSBI/SBI yang menuntut guru untuk mampu mengajar dalam bahasa asing (bahasa inggris) justru masih banyak yang berada pada level pemula. Sungguh menggelikan kalau mereka diharapkan mengajar dalam bahasa Inggris sementara kemampuan bahasa Inggris dasarnya masih rendah.
Pilar kedua kemampuan pedagogis, menjadi rahasia umum bahwa para guru adalah ”dewa/raja” di kelasnya. Para pemimpin sekolah / kepala sekolah memilih sibuk dengan urusan administrasi dan proyek yang sudah sangat jelas menyita perhatian dan waktu lebih sehingga supervisi kinerja guru di kelas tak jadi prioritas. ”pengawas” kinerja guru satu-satunya dan paling setia adalah siswa karena para siswa yang tiap hari merasakan bagaimana para guru tumbuh dalam kemampuan mengajar. Tetapi, suara mereka tak lebih dari sekadar gosip di kantin mengingat ”nasib” siswa ditentukan oleh nilai dari para guru.
Tunjangan sertifikasi semestinya digunakan para guru untuk membeli buku-buku yang bermutu atau mengembangkan materi pembelajaran yang menarik dan terbaru. Ironisnya, bukannya untuk membangun profesionalitas, tunjangan sertifikasi hanya mengubah gaya hidup artifisial guru. Pilar ketiga adalah kepribadian. Sering kali kepribadian yang baik disejajarkan dengan ketaatan beragama. Meskipun agama bisa membentuk akhlak mulia, para guru harus lebih mengejar nilai yang esensial seperti kejujuran dan penghormatan kepada siswa sebagai pribadi daripada berkisar pada cara berpakaian siswa atau kegiatan ritual keagamaan.
Pilar keempat adalah sosial. Para guru harus peka pada isu-isu terbaru yang terjadi di masyarakat. Para guru harus mau menyisihkan uang untuk berlangganan/membaca koran dan internet atau melihat berita televisi daripada menonton sinetron.
Dengan kepedulian sosial tinggi, guru bisa berwawasan luas. Negeri ini dikejutkan dengan para teroris-teroris belia yang masih duduk dibangku sekolah menengah atau yang baru lulus. Kecenderungan para siswa menyetujui aksi radikalisme ternyata berbanding lurus dengan persepsi para guru agama yang juga berwawasan sempit dan tidak menghargai toleransi atas pemeluk agama lain.
Para guru harus turut menjaga keempat pilar kebangsaan : Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan kebinekaan kita. Jika tidak, kemana lagi kita berharap sementara para kader bangsa kita menghabiskan hampir setengah waktu aktifnya setiap hari bersama para gurunya?
Para pengambil keputusan harus terus mengawal kinerja guru dan tentunya keterlibatan pastisipasi aktif masyarakat dalam membangun pendidikan dan profesionalitas guru. Para guru, terutama yang bersertifikasi, harus sadar bahwa setiap rupiah yang mereka dapatkan adalah keringat para pembayar pajak yang menginginkan anak-anak mereka dididik dengan profesionalisme yang tinggi. Bila guru bersertifikasi tak makin profesional, sungguh sangat memalukan.

Back

Search site

© 2009 All rights reserved.