Struggle For The Teacher Fredom

Guru dan Kekerasan

23/06/2009 12:05

Oleh: Asmarahadi

Guru dalam bahasa Indonesia berasal dari kosa kata Sanskerta yang artinya: berat, besar, kuat, luas, panjang, penting, sulit, jalan yang sulit, mulia, terhormat, tersayang, agung,sangat kuasa,orang tua (bapak-ibu) dan yang memberikan pendidikan. Dan seorang guru bukan hanya sebuah profesi tetapi lebih dari itu menjadi guru juga sebuah panggilan suci yang diamanatkan oleh Tuhan. Definisi guru yang baik selalu diuji para pendidik, administrasi pendidikan, dan para guru sendiri serta telah mampu membelajarkan siswanya dengan baik jika guru tersebut mampu memahami karakteristik dan memenuhi kebutuhan masing-masing siswa. akan tetapi syang beribu sayang Guru zaman sekarang cenderung mengedapankan karir, uang, kedudukan, dan sebagainya. Guru zaman sekarang lebih mengedapankan profesi ketimbang sebuah amanah/panggilan suci yang diakhir nanti akan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan yang maha kuasa.
Perubahan orientasi dari yang amanah menjadi sebuah profesi maka guru kebanyakan zaman sekarang lebih mengutamakan agar tercapainya sebuah kurikulum tanpa melihat faktor siswa yang sebenarnya menjadi penentu dari suksesnya sebuah hasil belajar sehingga jalan apapun ditempuh guru agar siswa mengerti apa yang dipelajari bukan memahami yang telah dipelajarinya. Maka tidaklah heran jika tindak kekerasan banyak dilakukan oleh seorang guru bahkan sekolah dianggap sebagai salah satu tempat yang tidak aman bagi anak. Komnas Perlindungan Anak mencatat, selama tahun 2007 praktik kekerasan terhadap anak (KTA) mengalami peningkatan sampai 300 persen, dari tahun sebelumnya. Dari 4.398.625 kasus menjadi sebanyak 13.447.921 kasus pada tahun 2008 (Media Indonesia, 12/7/2008). Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh tindakan KTA, 11,3 persen dilakukan oleh guru atau nomor dua setelah kekerasan yang dilakukan oleh orang di sekitar anak, dan jumlahnya mencapai 18 persen. Fakta ini didukung analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh semua surat kabar. Sepanjang paruh pertama 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan tajam, 39,6 persen, dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.
Jenis kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak belum termasuk perlakuan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional. Jika kekerasan psikis itu dimasukkan, persentase akan kian tinggi, berdasarkan pengaduan anak dan orangtua/wali murid kepada KPAI. Perlu disadari, kekerasan seperti itu, terkadang-bahkan sering-tidak disertai niat jahat. Sebaliknya, tindakan itu malah berselimut niat baik. Karena itu, pada umumnya mereka yang melakukan kekerasan pada anak sama sekali tidak merasa bersalah. Mereka merasa bahwa dirinya telah berbuat kebaikan, telah memberikan yang terbaik kepada anak.
Pertanyaannya, mengapa guru menjadi pelaku kekerasan terhadap anak? Bukankah guru semestinya menjadi pihak yang paling melindungi anak setelah orangtua? Boleh jadi karena guru mengalami tekanan kehidupan yang kian berat, baik yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial, kehidupan profesi, maupun tekanan psikis lain yang mendorong guru melakukan tindak kekerasan terhadap murid. Karena itu, pengertian atau definisi tentang kekerasan kepada anak yang meliputi aspek fisik dan nonfisik perlu dimengerti oleh mereka yang memiliki tugas mendidik anak-baik guru maupun orang tua. Anak harus dilihat sebagai individu mandiri, yang berbeda dengan orang tua atau gurunya. Anak memiliki bakat, kemampuan, minat, kebiasaan yang berbeda. Mereka bukanlah makhluk kecil yang merupakan jelmaan guru atau orang tuanya. Memang, tidak mudah untuk bisa memiliki pemahaman seperti itu. Guru maupun orang tua sering memiliki sejumlah ambisi pribadi yang dibebankan di pundak anak. Mereka selalu berdalih demi masa depan anak. Mereka menganggap anak sebagai benda mati yang masa depannya harus ditentukan guru atau orang tua.
Bagi guru, mereka terkadang juga dipaksa oleh keadaan. Yakni, adanya sistem pendidikan yang tidak mengacu kepada kepentingan anak. Tapi, lebih mengacu kepada kepentingan industri, kepentingan kapitalis maupun kepentingan penguasa. Anak dipaksa memiliki kualifikasi tertentu demi mengejar standardisasi yang ditetapkan penguasa, dunia industri, atau para kaum kapitalis. Padahal, hakikat pendidikan semestinya bukan itu. Pendidikan seharusnya lebih diarahkan untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri anak. Anak harus diarahkan menjadi dirinya sendiri. Dengan demikian, ketika dewasa, anak bisa hidup dari dirinya sendiri, bukan hidup karena menjadi kuli orang lain atau menjadi budak kaum pemilik modal.Juga tidak berarti kekerasan bisa dibenarkan atas nama sebuah sistem terlebih hanya untuk sebuah kurikulum.
Seorang guru adalah faktor kunci bagi pewujudan sekolah ramah anak (SRA) dengan cara membantu meningkatkan minat anak-anak dalam pembelajaran, partisipasi dan pengungkapan pendapat. Guru yang mampu menangani hukuman dan manajemen kelas dalam cara yang positif sering disebut sebagai karakteristik guru yang baik. Manajemen kelas mengacu pada perilaku guru yang memfasilitasi belajar-mengajar. Manajemen kelas ini sangat penting terutama dalam penanganan kelas besar, pengajaran lebih dari 1 kelas secara simultan, berhubungan dengan anak-anak yang pandai, nakal, pemalu dan lemah.
Guru yang baik pada dasarnya adalah manusia yang baik. Mereka memiliki kepribadian penyayang, baik, hangat, sabar, tegas, luwes dalam perilaku, bekerja keras, serta berkomitmen pada pekerjaan mereka. Pusat perhatian mereka bukanlah pada buku teks atau kurikulum, tetapi pada anak! Mereka sangat menyadari beragamnya cara anak-anak belajar, perbedaan antar anak-anak dan pentingnya metode beragam untuk mendorong siswa mampu belajar. Anak-anak yang belajar dengan guru semacam itu tidak perlu lagi mengeluarkan uang tambahan untuk mengikuti les sepulang sekolah. Sekolah jangan sampai menjadi penampungan orang-orang frustrasi, atau bermasalah, atau sekadar pekerjaan antara sebelum mendapat pekerjaan lain karena pada saatnya kondisi mental yang ada akan dilampiaskan dengan berbagai bentuk kekerasan terhadap siswa.
Kekerasan terhadap anak di sekolah harus diwaspadai karena Sigmund Freud mengatakan, anak akan memperlakukan orang lain di masa dewasa seperti ketika ia diperlakukan orang lain pada masa anak-anak (Corey, 2001). Jadi, jika kini anak-anak diperlakukan dengan penuh kekerasan, kelak mereka akan menjadi pelaku kekerasan yang mungkin jauh lebih hebat dibandingkan perlakuan kekerasan yang diterima saat anak-anak.
Semoga Kawan-kawan menjadi guru yang penuh dengan semangat, cinta, kasih sayang, dan menjadi inspirasi bagi siswa.

Back

Search site

© 2009 All rights reserved.