Struggle For The Teacher Fredom

Buruh dan Guru “Senasib Tak Sependeritaan”

27/04/2010 22:16

1 mei adalah hari buruh internasional yang dirayakan di seluruh belahan dunia atau yang dikenal dengan may day, dalam perjalanan sejarahnya May Day lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja. 1 Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada Konggres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk, selain memberikan momen tuntutan delapan jam sehari, memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut. may day sudah dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kelas pekerja.

Jika buruh atau pekerja merupaka elemen penting dalam sebuah produksi, maka pendidikan pun memiliki elemen yang teramat penting namun diabaikan yakni guru. jika kaum buruh merayakan harinya dengan may day, para pendidik atau guru merayakannya di pada tanggal 2 mei yang diambil dari tanggal lahir Ki Hajar Dewantara dan karena jasanya mendirikan Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda kala itu. Jika buruh puya may day maka guru punya 2 hari yang penting dalam profesinya yakni tanggal 2 mei sebagai hari pendidikan nasional dimana guru menjadi peran utama dalam sebuah pendidikan pendidikan dan tanggal 25 November sebagai hari guru itu sendiri dan ini sering terjadi kesalahan pengartian antara 2 mei dan 25 november.

Hari pendidikan nasional atau pun hari guru kedua adalah elemen yang tak terpisahkan. Organisasi guru yang lahir pertama kali pada tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat. Pada tahun 1932 nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini mengejutkan pemerintah kolonial Belanda, karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan tentunya sangat tidak disenangi oleh pemerintahan kolonial Belanda karena mencerminkan tumbuhnya semangat Nasionalisme. Genap 100 hari paka kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 lahirlah oragisasi guru yakni PGRI sebagai “anak sulung” dari proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 yang memiliki sifat dan semangat yang sama dengan “ ibu Kandungnya”,yaitu semangat persatuan dan kesatuan, pengorbanan dan kepahlawanan untuk tentang penjajah. PGRI lahir dari hasil kongres Pendidikan Bangsa pada tanggal 24-25 November 1945 bertempat di Sekolah Guru Putri (SGP) Surakarta, Jawa Tengah.

Dengan pekik “merdeka” yang iring letupan meriam kolonial Belanda menyatakan tujuan awal dari organisasi guru ini : (a) Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia. (b)Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan. (c)Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.

Jika dilhat secara seksama sebenarnya posisi antara buruh dan guru tidaklah berbeda, tujuan awal dari sebuah organisasi guru salah satunya menyatakan “Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.” artinya posisi guru dan buruh memang tidak berbeda. Posisi ini makin dipertegas dengan dikeluarkannya Recommendation concerning the Status of Teachers oleh Unesco dan ILO  Oktober tanggal 5 oktober 1966 dalam sebuah konferensi khusus antar pemerintah. Rekomendasi itu berisi 13 bab dan 146 pasal. Inilah ketentuan pertama kali didunia yang mengatur soal guru. Menarik, karena ternyata sudah sejak lama yaitu 44 tahun yang lalu Unesco dan ILO sebagai dua badan internasional yang menangani guru dari sisi kependidikan dan ketenagakerjaan telah menempatkan guru dalam posisi yang strategis dan bermartabat.

Kalau hari ini sebagian para guru menikmati kesejahtreraan dengan berbagai macam nama mulai dari statu PNS sampai dengan tunjangan pensiun, sebagian besar guru masih merintih dan jauh dari harapan nasib ini  pun tidak jauh berbeda dialami oleh para sebagian buruh. ada buruh yang sudah menikmati berbagai tunjangan dari perusahaannya (yang mungkin lebih tepat disebut sebagai karyawan) sebagian besar masih menangis akibat terus menerus lembur untuk menutupi kebutuhan hidupnya  belum lagi ditambah masih kuatnya sistem outsourcing atau alih daya yakni proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain diluar perusahaan induk.

kiranya buruh dan guru sebenarnya adalah satu kesatuan yang tak pisahkan, kedua sama nasib namun beda penderitaan atau mung cara bagaimana menderita.

Asmarahadi

Back

Search site

© 2009 All rights reserved.