Struggle For The Teacher Fredom

Awas, Belenggu Sekolah!

18/10/2010 20:15

Oleh : Asmarahadi

Dengan dilupakannya aspek character building dalam kebijakan pembangunan bangsa ini beberapa dekade terakhir, dampak dan produknya dapat kita lihat dan rasakan sekarang ini. Karenanya kita dapat berujar, betapa pun besarnya badai dan krisis yang menerpa suatu anak bangsa, bila saja anak bangsa tersebut berkarakter, tidak akan berpengaruh besar terhadap bahtera kebangsaannya.
Sekian puluh tahun terakhir, bangsa Indonesia hidup dalam kemasan pseudo massal. Hidup dalam rekayasa besar kepura-puraan yang akut. Kekuasaan sebuah rezim yang berkarat dengan kedzaliman berstruktur tidak memberi ruang bagi hak-hak individual. Artinya, manusia anak bangsa bukanlah karakter, dia hanyalah sejumlah angka-angka yang cenderung seragam. Dalam kerangka pembangunan ekonomi yang menuhankan pertumbuhan daripada pemerataan dan keadilan, anak bangsa yang tidak berkarakter akhirnya terpuruk hanya menjadi sekrup-sekrup kecil mesin industri-ekonomi.
Pertumbuhan kesejahteraan menjadi nomor kesekian, lantaran faktor manusia (yang kebetulan tanpa karakter itu) lebih dipandang sebagai variabel terabaikan bagi aspek produksi. Buruh-buruh pabrik mengalami “pemesinan massal” secara sukarela atau pun terpaksa. Sementara para eksekutif berdasi mengalami hal yang sama. Mereka terbelenggu dalam proyek besar “pemesinan pasar uang dan modal.” Dalam kondisi demikian, amat sangat naif bila kita mencoba mencari wujud “manusia” anak bangsa negeri ini, sebab yang tertinggal hanyalah “mesin”.

Sekolah, Penjara yang Didamba
Bahwa bangsa ini sudah memiliki Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kita semua telah sama mengetahui. Bahwa Undang-undang tersebut lebih tepat disebut peraturan persekolahan hanya segelintir manusia Indonesia yang menyadarinya. Itu pun sebatas pengetahuan dan pemahaman untuk diri sendiri (dalam rangka kepakaran yang bersangkutan), sementara rakyat terus saja bergumul dengan kekeliruan pandangan dan wacana seputar sekolah.
Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, sekolah masih menjadi wilayah ‘kekuasaan negara’ yang tak tersentuh. Ketika orangtua memasukkan anaknya ke sebuah institusi sekolah, maka dalam waktu bersamaan mulailah ‘penghambaan’ itu. Artinya, orangtua sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk menanyakan bagaimana anaknya kelak ‘dididik’ di sekolah tersebut? Siapa (dalam arti visi ideologi dan sebagainya) yang akan melakukan ‘pendidikan’ itu? Dengan ketakberdayaannya itulah, orangtua terposisikan sebagai ‘hamba’ dan sekolah di sisi lain sebagai ‘tuan’.
Dalam frase yang lain, dapat disebutkan bahwa institusi persekolahan tidak lain adalah sebuah ‘state dalam state’. Ya, sekolah menjadi sebuah ‘negara dalam negara’. Siswa sebagai para ‘hamba sahaya’ tersebut dipaksa atau dengan sukarela mengikuti ‘aturan permainan’ yang ditentukan dan ditetapkan oleh ‘negara sekolah’. Tak ada lagi wilayah-wilayah individual di sana, yang ada adalah uniformitas alias penyeragaman.
Penyeragaman boleh jadi mengingatkan kita pada aturan tunggal dalam suatu Lembaga Pemasyarakatan. Dalam LP, para narapidana ditempatkan sebagai pesakitan lengkap dengan seragam yang bernomor, dan tanpa nama. Bagaimana pula ‘negara sekolah’ atas nama ‘tata tertib’ menempatan siswa sebagai ‘hamba sahaya’? Jadilah siswa sebagai pesakitan di lembaga sekolah. Nah, apa bedanya sekolah dengan penjara?
Siapa pun boleh marah dan merah telinganya ketika mendengar sebuah sinyalemen, “Sekolah kini menjadi Negara bagi siswanya!”, atau “Sekolah, Penjara yang Didamba!” Namun, kemarahan itu tentu saja harus proporsional. Dalam konteks, bagaimana paradigma ‘state’ itu muncul dan bagaimana pula pelan-pelan dengan paradima ‘state’nya itu sekolah berfungsi sebagai penjara. Ya, penjara bagi siswa untuk dapat menempa jatidirinya, mengeksploitasi dan mengeksplorasi skill serta kreativitasnya.
Dalam bahasa yang lebih pedagogis dapat disebutkan, “Dari dan di sekolah, siswa kehilangan kesempatan untuk mengenal dirinya sendiri!”

Sekolah, Sebuah Pembalikkan Amanat Konstitusi
Negara Indonesia mengakui UUD 1945 sebagai landasan konstitusinya. Namun dapat dipastikan hanya sedikit kalangan yang mampu mengapresiasikan beberapa bagian dari UUD 1945 tersebut yang terkait dengan dunia pendidikan dengan tepat benar. Bab XIII Pasal 31 UUD 1945 ayat (1) dan (2) sebelum diamandemen menyebutkan, “Setiap warganegara berhak atas pengajaran, dan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.”
Secara gamblang, siapa pun akan dengan mudah menggarisbawahi kata ‘berhak’ dari ayat (1) Pasal 31 UUD 1945 tersebut. Hal itu berarti menunjukkan beberapa kekontradiksian antara kebijakan pemerintah dengan amanat pasal 31 UUD 1945 tersebut. Bahwa sekarang ini lembaga sekolah telah lebih berfungsi sebagai ‘negara otoriter’ yang membelenggu siswanya dalam posisi ‘hamba sahaya’ merupakan sebuah kejahatan dan kebohongan besar belaka. Namun sampai kapan hal itu harus terus kita biarkan?

Penyadaran Hak Berpengajaran
Sebaiknya memang kita menggunakan istilah ‘pengajaran’ dengan maksud agar lebih match dengan bunyi ayat (1) dan (2) dari pasal 31 UUD 1945. Tujuan lainnya yakni agar pemerintah sebagai penyelenggara pengajaran (ayat 2 pasal 31 tersebut) menyadari kekeliruannya selama ini dengan menempatkan dirinya sebagai pihak yang paling tahu dan berhak atas ‘pendidikan’. Sekali lagi harus digarisbawahi, “Menurut amanat konstitusi (Pasal 31 UUD 1945 ayat (1) dan (2)), tugas dan kewajiban pemerintah itu sebatas penyelenggaraan pengajaran!”
Lantas, siapa yang menyelenggarakan pendidikan atas bangsa Indonesia ini? Kehidupan anak bangsa itu sendirilah yang detik demi detiknya memberikan pendidikan. Seandainya wacana yang jernih dan tepat mengenai “Hak” dan “Kewajiban” Penyelenggaraan Pengajaran menjadi paradigma yang mengakar sejak dulu, barangkali bangsa ini tidak harus terpuruk dan makin terpuruk seperti sekarang. Paling tidak terdapat kemampuan dan kemauan untuk melihat persoalan lebih jernih.
Misalnya, tak boleh lagi terjadi kepanikan ketika tawuran antar pelajar menjadi sangat fenomenal, lantas dengan tergopoh-gopoh semua pihak perhatian dan harapannya tertuju pada lembaga pengajaran (sekolah). Mereka bilang, “Pendidikan Budi Pekerti harus diajarkan kembali!”, atau “Jam pelajaran Agama harus diperbanyak!”
Padahal, kalau mereka mau sedikit memahami mengapa anak-anak itu asyik menjadi aktivis tawuran, paling tidak akan ada konklusi begini, “Justru dari kehidupan masyarakat dan pemimpin bangsa inilah, anak-anak itu mendapat pendidikan tawuran!”

Berdaya dengan Belajar, Sesuatu yang Imperatif
Akhirnya, siapa pun menyadari bangsa Indonesia ini jauh lebih tidak siap dibandingkan bangsa seregional lainnya. Terutama dalam menghadapi tantangan global, yang tinggal hitungan hari saja. Percepatan pemberdayaan bangsa ini bukan satu hal yang dapat ditawar-tawar lagi. Pemerintahan transisional di era Reformasi ini yang masih harus belajar berdemokrasi jangan dibiarkan berjalan sendiri. Semua pihak berhak dan berkewajiban atas tegaknya negeri ini. Dalam arti berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara-negara lainnya. Semua itu hanya dapat dicapai secara crash-program untuk tidak lagi melakukan tawar-menawar bagi pengajaran yang berkualifikasi. Jadilah, berdaya dengan belajar benar-benar merupakan sebuah keharusan, Imperatif!

Back

Search site

© 2009 All rights reserved.